Sabtu, 24 Maret 2012

Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan Hukum di Indonesia
Sebelum membahas penegakan hukum di Indonesia, adakalanya kita harus mengetahui apa itu penegakan hukum.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Permasalahan penegakan hukum akhir-akhir ini menjadi perhatian masyarakat luas yang mulai menunjukkan sikap perduli dan prihatin karena penegakan hukum yang terjadi selama ini belum memberikan arah penegakan hukum yang benar sesuai harapan masyarakat dalam penyelenggaraan Negara hukum di Indonesia.

Masyarakat telah sepakat meletakkan dasar reformasi pada tiga pilar, yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ketiganya bertumpu kepada hukum dan penegakan hukum. Reformasi di bidang hukum dimulai dengan melakukan perubahan dan pembaruan atau amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD RI 1945) dan dilanjutkan dengan serangkaian perubahan undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan demokrasi dan undang-undang yang esensinya melanjutkan sikap yang anti KKN dalam lapangan hukum administrasi dan hukum pidana. 

Dalam perjalannya selama kurang lebih 13 tahun, reformasi di bidang hukum dan penegakan hukum menunjukkan indikasi yang tidak menggembirakan dan mengecewakan yang ditandai dengan kecemasan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum, terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan Negara.

Pada dua sektor yang terakhir ini (tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan Negara) dalam perkembangannya menunjukkan gelagat yang tidak menggembirakan dan masyarakat mulai curiga dan tidak percaya karena ada dugaan terjadinya permainan politik dalam praktek penegakan hukum saat ini. Permainan politik ini tidak sama dengan intervensi politik terhadap aparat penegak hukum, tetapi lebih jauh lagi terjadi konspirasi antara pemegang kendali politik/kekuasaan, pembentuk hukum dan dengan aparat penegak hukum dan hakim.

Problem hukum dan penegakan hukum tersebut tercermin dari adanya indikasi rasa ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum mulai merembet naik dan adanya gejala masyarakat cenderung menyelesaikan sendiri di luar pengadilan meskipun perbuatan tersebut melanggar hukum (melakukan penghakiman sendiri) dan sekarang mulai ada gerakan untuk menuntut secara resmi dan pengesahan mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk perkara pidana serta dibentuknya berbagai komisi independen yang diberi wewenang di bidang penegakan hukum sebagai bentuk lain dari ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum yang terjadi selama ini.

Dalam kaitan dengan permasalahan hukum di atas, pembahasan ini dibatasi terhadap dua permasalahan hukum yaitu masalah penegakan hukum di Indonesia dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan praktek hukum yang menimbulkan sikap apatisme masyarakat. Dari hasil pembahasan terhadap dua problem hukum tersebut kemudian dicari alternatif pemecahannya dan rekomendasi.

Fenomena penegakan hukum di Indonesia belakangan ini sangat menyedihkan, bagaimana tidak mulai dari kasus  nenek yang mencuri 3 biji kakau, pencurian sandal yang dilakukan oleh anak (AAL) hingga “pembantaian” warga oleh aparat di sejumlah daerah (Mesuji dan Bima beberapa diantaranya) semua membuat kita prihatin terhadap aparat yang seharusnya melayani,mengayomi sekaligus memberikan perlindungan/keamanan.
  
Apa yang salah dengan penegakan hukum di bumi pertiwi ini? Apakah salah bunda mengandung? Adapun sejumlah pertanyaan sekaligus permasalahan diatas salah satunya sebenarnya terletak dari aparat penegak hukum yang tidak mengerti akan hukum itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus-kasus diatas,  dimana aparat secara “asal-asalan” menegakkan hukum terhadap rakyat kecil yang tak berpunya dan asal-asalan pula terhadap mereka para pejabat yang telah melakukan Tindak Pidana utamanya Korupsi.

 Contohnya saja pencurian sandal yang dilakukan oleh anak-anak terhadap anggota Brimob justru berujung nestapa bagi si anak tersebut padahal kejadian semacam itu merupakan kenakalan anak-anak pada umumnya. Kita tidak mengatakan pencurian oleh anak-anak sebagai sesuatu yang legal hanya saja harus ditekankan kembali bahwa penegak hukum harus mampu membedakan mana kejahatan dan mana kenakalan. Anak-anak yang melakukan hal tersebut seharusnya diberitahukan secara edukatif, ditegur atau sejenisnya bukan justru dianiaya dan diseret dalam proses hukum. Ini yang dikatakan adanya ketidakadilan aparat hukum.
  
Perlu diketahui bersama utamanya para Penegak Hukum seperti Polisi, Jaksa, Penasehat Hukum, Wali dan Hakim seharusnya memahami Hukum dalam konteks Moral Reading bukan sekedar Textual Reading. Yang terjadi belakangan ini justru aparat menegakkan hukum dalam konteks Textual Reading terhadap rakyat kecil. Mereka melihat KUHP yang merupakan warisan kolonial, sanksi dan langsung saja menerapkannya tanpa memakai hati nurani sedikitpun.
Perlu dipahami bahwa Keadilan memang terdapat dalam suatu UU namun perlu digarisbawahi bahwa UU juga merupakan produk politik yang sangat patut dicurigai utamanya oleh akademisi dan mahasiswa. Keadilan di UU haruslah di gali lagi tidak semata-mata terlihat begitu saja. Hal tersebut senada dengan  Paul Scholten yang mengatakan (het recht is in de wet, maar het moet nog gevonden warden) bahwa keadilan itu (memang) ada di dalam Undang-undang,tetapi (masih) harus ditemukan.

 Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum “menghukum” seseorang dan sekaligus memvonis seseorang. Pertanyaan mendasarnya adalah apa yang membedakan aparat penegak hukum dengan anak SD apabila hanya mampu menerapkan hukum dalam konteks Textual Reading? Tentu aparat penegak hukum kita bukanlah anak SD yang hanya bisa membaca hukum tetapi bisa menelaah, memahami, menggali kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan dari hukum itu sendiri sehingga dengan Moral Reading diatas hukum mampu mensejahterakan rakyat dalam suatu Negara. Ingat bahwa Hukum Tertinggi di Negeri ini adalah Konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan KUHP yang merupakan warisan penjajah yang patut kita “sembah”.

1 komentar: